Reviu Novel “The Translator” karya Leila Aboulela

Reviu ini dibuat atas dasar paksaan tugas kuliah yang alhamdulilah berakhir bahagia. Ini merupakan tugas kuliah pertama untuk mereviu sebuah novel, biasanya kami disuruh mereviu jurnal atau buku, tapi kali ini novel dengan banyak pilihan yang mengasyikan. Entah kenapa saya menjatuhkan pilihan kepada novel “The Translator” karya Leila Aboulela (sebenarnya karena jumlah halamannya yang tidak sebanyak novel lain). Sayangnya saya belum membaca karya-karya Leila Aboulela yang lain yang tak kalah terkenalnya, tapi kalau berdasarkan novel ini saya rasa Leila Aboulela mirip dengan Asma Nadia, terutama karena sudut pandang atau tokoh utamanya sama-sama perempuan muslim.

Berhubung reviu ini merupakan tugas kuliah politik pemerintahan Afrika, jadi dalam reviu ini saya berusaha melihatnya dari sudut pandang politik (walau gak jelas, maaf ya!). Ya sudah baca aja reviunya haha

Title

The Translator

Novel

Leila Aboulela

Setting (country/ies)

Scotland and Sudan

Topics

Romantic love story between Sammar, Sudanese muslim women with Prof Rae, researcher and lecturer about Middle East and Politics in Third World.

Comments

The Translator (1999) merupakan novel pertama yang ditulis oleh Leila Aboulela, novelist ternama asal Sudan. Selain The Translator, beliau juga menulis novel terkenal lainnya yakni Coloured lights (2001), Minaret (2004), Lyrics Valley (2010), The Kindness of Enemies (2015). Berbagai penghargaanpun telah diterima oleh Leila seperti pemenang Caine Prize for African Writing, serta novelnya The Translator masuk dalam New York Times 100 Notable Books.

The Translator berkisah tentang Sammar seorang perempuan (janda) yang menjadi penerjemah bahasa Arab di salah satu Universitas di Skotlandia. Pekerjaan itu kemudian membawanya bertemu dengan Prof. Rae Isles, seorang dosen di bidang politik khususnya Timur Tengah dan Afrika. Singkat cerita kedua tokoh tersebut saling menyukai satu sama lain. Meskipun begitu, tidak mudah bagi Sammar untuk mengakui perasaannya kepada Rae. Sammar dalam novel ini diceritakan sebagai perempuan muslim yang taat atau “konservatif”, ia menggunakan jilbab, sholat lima waktu, berpuasa, serta patuh pada ajaran Islam seperti tidak boleh menikah dengan seseorang yang beda agama. Di sisi lain, Sammar mengalami perubahan yang lebih baik setelah ia dekat dengan Rae. Pasca kematian suaminya Tarig dan pertengkarannya dengan Mahasen hidup Sammar menjadi suram, namun, hal itu berubah tatkala hubungannya dengan Rae semakin berkembang. Hal itulah yang memberanikan Sammar meminta Rae untuk masuk Islam agar mereka dapat menikah. Di sisi lain, Rae tidak yakin akan permintaan Sammar. Prof. Rae selama ini mempelajari Islam untuk mendukung studinya akan politik di Timur Tengah dan bukan untuk kepentingan spiritual dirinya. Terlebih lagi ia ingin menjadi peneliti yang objektif. Pasca penolakan dari Rae, Sammar bersegera pergi ke Mesir dan lalu pulang ke Khartoum, Sudan dan memulai kehidupan baru di sana. Sammar kemudian menyadari kesalahannya saat meminta Rae masuk Islam, ia melakukan hal itu karena egonya semata. Meskipun begitu, ia tidak pernah melupakan Rae dan terus mendoakannya. Novel ini diakhiri dengan akhir yang bahagia di mana Rae memutuskan masuk Islam dan kemudian pergi ke Khartoum menemui Sammar.

Menurut saya The Translator sangatlah menarik karena berlatarkan Skotlandia (Aberdeen) dan Sudan (Khartoum) di mana kedua tempat tersebut memiliki geografis, iklim, identitas agama, budaya serta etnis yang amat berbeda. Hal tersebut berhasil ditampilkan oleh Leila yang tumbuh besar di Khartoum dan sekarang menetap di Aberdeen. Lalu, ada beberapa konsep yang dapat dielaborasikan dalam novel ini. Pertama, terkait bagaimana kita memandang Afrika. Dalam silabus baik saat perkuliahan berlangsung ditekankan bahwa pantangan utama dalam kelas ini ialah mengikuti dan mereproduksi pandangan kolonialis, “orientalis”, dan rasis terhadap aktor-aktor politik di Afrika. Dalam novel ini Leila memperlihatkan pandangan tersebut yang hadir dalam masyarakat Afrika sendiri khususnya Sudan. Hal tersebut tampak ketika Leila memutuskan untuk pulang dan menetap di Sudan di mana ia mendapatkan respon negatif dari Mahasen serta Waleed. Waleed, kakak dari Sammar mengatakan “‘How couldn’t it be? You’re so fortunate. A good job, a civilised place. None of there power cuts and strikes and what not . . .” Perkataan tersebut menggambarkan pada benak Waleed bahwa Skotlandia merupakan tempat yang lebih beradab dibandingkan Sudan. Selain itu, Sammar juga memiliki pandangan yang sama saat masih di Aberdeen, ketika dia mengetahui bahwa Prof. Rae saat libur natal tinggal di rumah keluarga mantan istrinya. Culture-shock for Sammar. An old man in Edinburgh was allowing his daughter’s ex-husband under his roof This must be civilised behaviour, an ‘amicable divorce‘. Sammar menganggap sesuatu yang berbeda sebagai tingkah laku lebih beradab. Dari pandangan siapa yang lebih beradab ini sebenarnya tampak adanya perasaan inferior dari masyarakat Sudan, atau lebih luas Afrika kepada negara-negara barat. Pandangan yang membuat mereka merasa tidak setara.

Kedua, konsep lainnya ialah keamanan manusia. Konsep ini bukan kritik akan konsep keamanan konvensional di mana objek yang terancam bukanlah negara melainkan manusia itu sendiri. Dalam konsep keamanan manusia terdapat keamanan ekonomi, kesehatan, politik, lingkungan, dll. Dalam bagian kedua novel tantangan akan keamanan manusia banyak digambarkan. Terdapat banyak tantangan pada keamanan ekonomi di Sudan yakni mengenai kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan, banyaknya barang yang tidak dapat diproduksi sendiri, listrik yang sering padam serta inflasi.

Kemudian, dalam hal kesehatan, penyakit malaria merupakan salah satu penyakit penyebarannya terbesar di Afrika, dalam novel ini diceritakan bahwa ibu Nahla (tetangga Sammar di Sudan) terkena Malaria. Selain itu, juga ada permasalahan kematian bayi dan penyakit lainnya seperti polio, serta rendahnya kualitas pelayanan media. “Everyone around me is deprived of something or another. Some people don’t even have running water in their homes. And all the babies that die and inflation tight around people’s throats”. Dalam hal keamanan lingkungan, ada tantangan dari kekeringan serta air bersih. Selanjutnya dalam hal keamanan politik, tantangan dari sistem pemerintah yang otoritarian. Hal tersebut tampak dari percakapan Rae dan Sammar mengenai hadist yang belum pernah ia temui sebelumnya yakni “The best jihad is when a person speaks the truth before a tyrant ruler”, Sammar merasa aneh karena belum pernah menjumpai hadist tersebut saat disekolah. Lalu Rae menjawab “‘With the kind of dictatorships with which most Muslim countries are ruled,‘ he said, ‘it is unlikely that such a hadith would make its way into the school curriculum. Pada akhirnya, meskipun Sudan masih menghadapi berbagai tantangan dalam keamanan manusia, novel ini berusaha menceritakan sisi-sisi lain dari negara Afrika itu. What was life like? Deprivation and abundance, side by side like a miracle. Surrender to them both. Poverty and sunshine, poverty and jewels in the sky. Drought and the gushing Nile. Disease and clean hearts. Stories from neighbours, relations. Kalimat itu seakan memberikan semangat bahwa ada banyak hal baik yang ada di Sudan, ada banyak hal yang membuat rindu Sammar, hal-hal yang tidak ia dapatkan di Aberdeen, Skotlandia

Leave a comment